"Ririiin, main yuuk!”
Teriakan itu aku tujukan
kepada temanku. Sambil berdiri, jari-jariku spontan memainkan bunga di depan
rumahnya. Ia keluar dengan wajah
penuh bedak tak keruan. Rambutnya tampak
klimis. Aroma minyak kayu putih dari tubuhnya begitu menyengat. Kami
pun menyambangi teman-teman lain, yang letak rumahnya saling berdekatan
dengan kami.
“Eh, aku punya
kaset Petualangan Sherina. Lihat, nih!” celetuk
Adnan dengan logat Boyolali yang masih kental. Ia memamerkan kasetnya di depan wajah kami.
“Waaaah. Beli di mana?” sorak
semuanya secara bergantian. Ekspresi Dwi, Aisyah, Sari, Ririn, Kak Mayda, Kak Ronald, dan Elma tak jauh berbeda denganku. Merasa takjub.
“Wah, aku ndak tau ik. Ibu yang
beli.”
“Nonton ini aja yo,” Kak Mayda menyahut.
“Ya sudah. Mau nonton di rumah siapa?” tanya Dwi.
“Di rumah Kak Mayda saja, yuk!” saranku
menimpali. Kak Mayda
mengiyakan.
Kami begitu mudah mencerna apa
yang dikatakan dan dilakukan para tokoh utama. Mulai dari menirukan tarian, ucapan, hingga peran saat scene lagu “Jagoan”, “Anak Mami”, dan lain-lain. Hampir semua scene yang berisi lagu dipraktikkan
kembali layaknya Saddam dan Sherina sungguhan. Tak hanya film ini saja yang kami perankan ulang. Tersayang dan Tersanjung pun juga kena sasaran. Seperti
itulah kami mengisi waktu sore dengan memainkan permainan yang berbeda-beda.
Hingga suatu saat salah satu teman kami, Si Medok dari Boyolali, Adnan, menyeletuk di tengah permainan, “Teman-teman aku mau pindah
ke Sragen.”
“Ha?! Yang
bener?” kata Kak Mayda.
“Iya,” jawab
Adnan.
“Kenapa?”
“Bapakku pindah kerja di sana e.”
Hari berganti. Bulan pun mengikuti. Meski harus bermain tanpa Adnan dan Aisyah, lama-kelamaan kami
terbiasa. Sayangnya, Dwi justru menyusul
pindah ke kota lain.
Suatu malam, Mama dan Papa mengatakan bahwa Papa mendapatkan sebuah mess
(rumah dinas) di tempat kerja. Menjabat sebagai kepala
asrama karyawan, Papa harus berada di mess sepanjang hari. Ia harus berjaga-jaga kalau terjadi
sesuatu dengan karyawan di asrama tersebut. Jadi, setiap malam sekitar pukul
21.00, Papa pergi ke mess
dan bermalam disana.
Setelah dipertimbangkan A–Z, akhirnya kami sekeluarga pindah ke mess itu. Setiba di sana, kami melihat fasilitas yang
lengkap. Ada lapangan tenis, sepak bola, voli, bulu tangkis, dan basket. Rumah pun lebih megah, lengkap dengan
pekarangan yang berlipat-lipat luasnya.
Namun, tak ada artinya fasilitas yang wah. Aku tak
menemukan teman sebaya. Aku lebih banyak bermain dengan Mbak yang membantu Mama di rumah dan adik-adikku. Tak ada lagi Si Medok Adnan, Si Bedak Tidak Rata Ririn, Si Pendiam Dwi, serta Si Tiga Bersaudara Kak Mayda, Kak Ronald, dan Elma.
Hari berganti, matahari timbul tenggelam tanpa lelah. Usia pun bertambah. Tanpa terasa 4 tahun sudah aku
menjadi masyarakat sipil di mess.
Hingga suatu siang pada hari Minggu, aku melihat seorang laki-laki yang kira-kira
usianya sebaya denganku. Dari wajahnya, terlihat
tak asing.
Eh, iya. Itu Andro! Andro adalah
saudara dari Kak Mayda, Kak Ronald, dan Elma
yang memang cukup sering main ke rumah Mayda bersaudara. Dan, ternyata dia sekarang tinggal di mess ini juga! Karena sudah lama sekali tidak bertemu, sudah pasti akan kikuk sekali.
Suatu sore, kami bermain voli bersama. “Gue yang serving, elu yang di sana ya,” ujar Andro sambil menunjuk ke
arah seberang net. Duh. Mati. Ketahuan, deh gue enggak bisa main voli. “Oh, o-ke,” ucapku terbata-bata.
Ketika dia serving bola, tanganku sudah kukepal dan kuayun ke depan untuk memukul bola. Kacaunya, bola malah masuk ke tengah-tengah di antara kedua tanganku. Tunggu dulu. Kenapa aku merasa lama-lama sifat centilku keluar
secara alami ya? Apa aku sudah puber? Tapi, aku kan masih SD. Aku... Aku kan… Ah, apakah ini yang namanya perasaan suka?
Waktu memanggilku untuk berubah menjadi dewasa. Aku kelas 3 SMP dan Andro siswa 2 SMP, tetapi sebenarnya kami berdua lahir pada tahun yang sama.
Suatu siang, di saat aku sedang hampir tertidur di dalam bus karyawan, aku melihat dua anak laki-laki yang
pakaiannya berbeda dengan
penumpang lain, tetapi seragamnya sama denganku. Fasilitas bus ini memang
sangat bermanfaat bagi karyawan dan anak sekolah yang tinggal di mess. Namun,
siapa sangka bus ini pun
membawa petaka.
“Bu, Andro kecelakaan. Tertabrak bus karyawan! Meninggal, Bu,” teriak Mbak Ifa, anak buah Papa yang siang-siang datang ke rumah.
What the... Rosario pun
langsung berada di tanganku. Berharap dan berdoa agar Andro sebenarnya belum pergi atau mungkin bangkit
kembali. Teman mainku (sekaligus laki-laki pertama yang aku sukai) pergi. Untuk
selamanya?
Hal yang
paling membuatku tidak menyesal menjadikannya laki-laki pertama yang aku suka
adalah ucapan terakhir sebelum pergi kepada ayahnya, “Pah, sopir bus jangan diapa-apain ya.” Kini dunia mainku di mess terasa sepi sekali. Aku harus kehilangan
teman-teman mainku di rumah lama dan sekarang aku harus kehilangan teman mainku
kembali.
Tapi, ulat akan jadi kupu-kupu, rambut hitammu
pun akan memutih, dan kita tak akan selamanya menikmati siang. Gelap selalu menanti gilirannya. Hidup pun pasti
akan berubah. Aku bersyukur bisa menikmati apa yang pernah aku nikmati,
termasuk bisa menangis karena merindukan kenikmatan-kenikmatan sederhana
tersebut.
"Come with
me, then. We can talk over food in the dining hall. Lunchtime is over, but if
we go now they can still make us something" Haruki Murakami dalam Norwegian
Wood. Tiba-tiba aku
teringat kutipan dari salah satu
koleksi novelku ini yang seolah menyiram jiwaku. Tuhan pasti akan, bahkan sudah
punya sesuatu untukku.
Jadi,
aku harus go ahead. Ya! Karena aku
hanya hidup sekali. (ME)