Tuesday 26 July 2016

Karena Aku Hanya Hidup Sekali






"Ririiin, main yuuk!” 

Teriakan itu aku tujukan kepada temanku. Sambil berdiri, jari-jariku spontan memainkan bunga di depan rumahnya. Ia keluar dengan wajah penuh bedak tak keruan. Rambutnya tampak klimis. Aroma minyak kayu putih dari tubuhnya begitu menyengat. Kami pun menyambangi teman-teman lain, yang letak rumahnya saling berdekatan dengan kami. 

“Eh, aku punya kaset Petualangan Sherina. Lihat, nih!” celetuk Adnan dengan logat Boyolali yang masih kental. Ia memamerkan kasetnya di depan wajah kami. 

“Waaaah. Beli di mana?” sorak semuanya secara bergantian. Ekspresi Dwi, Aisyah, Sari, Ririn, Kak Mayda, Kak Ronald, dan Elma tak jauh berbeda denganku. Merasa takjub. 

 “Wah, aku ndak tau ik. Ibu yang beli.

“Nonton ini aja yo,” Kak Mayda menyahut. 

“Ya sudah. Mau nonton di rumah siapa?” tanya Dwi. 

“Di rumah Kak Mayda saja, yuk!” saranku menimpali. Kak Mayda mengiyakan.

Kami begitu mudah mencerna apa yang dikatakan dan dilakukan para tokoh utama. Mulai dari menirukan tarian, ucapan, hingga peran saat scene lagu “Jagoan”, “Anak Mami”, dan lain-lain. Hampir semua scene yang berisi lagu dipraktikkan kembali layaknya Saddam dan Sherina sungguhan. Tak hanya film ini saja yang kami perankan ulang. Tersayang dan Tersanjung pun juga kena sasaran. Seperti itulah kami mengisi waktu sore dengan memainkan permainan yang berbeda-beda. 

Hingga suatu saat salah satu teman kami, Si Medok dari Boyolali, Adnan, menyeletuk di tengah permainan, “Teman-teman aku mau pindah ke Sragen.” 

“Ha?! Yang bener?” kata Kak Mayda. 

“Iya,” jawab Adnan.

Kenapa?” 

“Bapakku pindah kerja di sana e.

Hari berganti. Bulan pun mengikuti. Meski harus bermain tanpa Adnan dan Aisyah, lama-kelamaan kami terbiasa. Sayangnya, Dwi justru menyusul pindah ke kota lain.

Suatu malam, Mama dan Papa mengatakan bahwa Papa mendapatkan sebuah mess (rumah dinas) di tempat kerja. Menjabat sebagai kepala asrama karyawan, Papa harus berada di mess sepanjang hari. Ia harus berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu dengan karyawan di asrama tersebut. Jadi, setiap malam sekitar pukul 21.00, Papa pergi ke mess dan bermalam disana. 

Setelah dipertimbangkan A–Z, akhirnya kami sekeluarga pindah ke mess itu. Setiba di sana, kami melihat fasilitas yang lengkap. Ada lapangan tenis, sepak bola, voli, bulu tangkis, dan basket. Rumah pun lebih megah, lengkap dengan pekarangan yang berlipat-lipat luasnya

Namun, tak ada artinya fasilitas yang wah. Aku tak menemukan teman sebaya. Aku lebih banyak bermain dengan Mbak yang membantu Mama di rumah dan adik-adikku. Tak ada lagi Si Medok Adnan, Si Bedak Tidak Rata Ririn, Si Pendiam Dwi, serta Si Tiga Bersaudara Kak Mayda, Kak Ronald, dan Elma.
Hari berganti, matahari timbul tenggelam tanpa lelah. Usia pun bertambah. Tanpa terasa 4 tahun sudah aku menjadi masyarakat sipil di mess. Hingga suatu siang pada hari Minggu, aku melihat seorang laki-laki yang kira-kira usianya sebaya denganku. Dari wajahnya, terlihat tak asing. 

Eh, iya. Itu Andro! Andro adalah saudara dari Kak Mayda, Kak Ronald, dan Elma yang memang cukup sering main ke rumah Mayda bersaudara. Dan, ternyata dia sekarang tinggal di mess ini juga! Karena sudah lama sekali tidak bertemu, sudah pasti akan kikuk sekali.

Suatu sore, kami bermain voli bersama. “Gue yang serving, elu yang di sana ya,” ujar Andro sambil menunjuk ke arah seberang net. Duh. Mati. Ketahuan, deh gue enggak bisa main voli. Oh, o-ke,ucapku terbata-bata. Ketika dia serving bola, tanganku sudah kukepal dan kuayun ke depan untuk memukul bola. Kacaunya, bola malah masuk ke tengah-tengah di antara kedua tanganku. Tunggu dulu. Kenapa aku merasa lama-lama sifat centilku keluar secara alami ya? Apa aku sudah puber? Tapi, aku kan masih SD. Aku... Aku kan… Ah, apakah ini yang namanya perasaan suka? 

Waktu memanggilku untuk berubah menjadi dewasa. Aku kelas 3 SMP dan Andro siswa 2 SMP, tetapi sebenarnya kami berdua lahir pada tahun yang sama.
 
Suatu siang, di saat aku sedang hampir tertidur di dalam bus karyawan, aku melihat dua anak laki-laki yang pakaiannya berbeda dengan penumpang lain, tetapi seragamnya sama denganku. Fasilitas bus ini memang sangat bermanfaat bagi karyawan dan anak sekolah yang tinggal di mess. Namun, siapa sangka bus ini pun membawa petaka.

“Bu, Andro kecelakaan. Tertabrak bus karyawan! Meninggal, Bu,” teriak Mbak Ifa, anak buah Papa yang siang-siang datang ke rumah. 

What the... Rosario pun langsung berada di tanganku. Berharap dan berdoa agar Andro sebenarnya belum pergi atau mungkin bangkit kembali. Teman mainku (sekaligus laki-laki pertama yang aku sukai) pergi. Untuk selamanya? 

Hal yang paling membuatku tidak menyesal menjadikannya laki-laki pertama yang aku suka adalah ucapan terakhir sebelum pergi kepada ayahnya, “Pah, sopir bus jangan diapa-apain ya.” Kini dunia mainku di mess terasa sepi sekali. Aku harus kehilangan teman-teman mainku di rumah lama dan sekarang aku harus kehilangan teman mainku kembali. 

Tapi, ulat akan jadi kupu-kupu, rambut hitammu pun akan memutih, dan kita tak akan selamanya menikmati siang. Gelap selalu menanti gilirannya. Hidup pun pasti akan berubah. Aku bersyukur bisa menikmati apa yang pernah aku nikmati, termasuk bisa menangis karena merindukan kenikmatan-kenikmatan sederhana tersebut. 

"Come with me, then. We can talk over food in the dining hall. Lunchtime is over, but if we go now they can still make us something" Haruki Murakami dalam Norwegian Wood. Tiba-tiba aku teringat kutipan dari salah satu koleksi novelku ini yang seolah menyiram jiwaku. Tuhan pasti akan, bahkan sudah punya sesuatu untukku. Jadi, aku harus go ahead. Ya! Karena aku hanya hidup sekali. (ME)

Indonesian Fake Vaccines Scandal Harms Millions of Innocence

Vaccine is known as a substance which is injected into the body and it is definitely useful as a shield against any diseases by increasing the immunity of the body. In Indonesia, it is a must for all children to receive the immunization since they age 4 years old to avoid some serious diseases, such as polio and hepatitis. However, it turned to be something frightening and panicking for the nation due to the exposed fake vaccines which have been distributed to many health facilities and hospitals in Jakarta and some regions of the island of Java. The substance which fortunately should give benefits to the immune system ended up turning the body fragile and easy to get infected.  

This scandal is terrifically astonishing of how those fake vaccines could be freely distributed for over 13 years with millions of children harmed. It leads to suggest three possible causes. First, imported vaccines became extinct for years while the number of needs increased year by year. “Many parents from high middle class society prefer to choose alternative (imported) vaccines (than the locals)” as quoted by Tengku Bahdar Johan Hamid, the head of National Agency of Drugs and Foods Control (BPOM) in m.tempo.com. Their extinction led some irresponsible activists to invent illegal imported vaccines. Secondly, the higher price of imported vaccines ended up giving them bright idea to distribute the illegal vaccines with much lower price. Last, it could be assumed lack of proper overhaul from BPOM was one of the assumed causes as well.
 
In sum, deaths may be hardly linked to the fake vaccines and truly can be anticipated by re-vaccinating the victims, yet if the government does not start any action, it can be assumed parents will feel trepidatious to let their kids jabbed and immunized. Therefore, this hair-raising scandal commands to suggest two solutions. First, the BPOM seriously requires to tighten their regulations to carefully sort all foods and medicines before getting distributed. Moreover, Biofarma as the main supplier of local vaccines should provide more various kinds which have not been manufactured before, with imported-like quality and surely affordable price. It aims to reduce the number of imported vaccines users in Indonesia, thus the extinction of imported ones would not be a matter for parents and would not give any chance to other syndicates to play more games.(ME)